Rumah bubungan tinggi merupakan warisan budaya masyarakat Suku Banjar yang tinggal di Kalimantan Selatan. Rumah ini adalah jenis rumah tradisional tertua dan berada di level tertinggi tempat tinggal adat Suku Banjar.
Tidak hanya memiliki konsep bangunan yang unik berupa atap pelana membumbung tinggi, tapi juga dilengkapi ornamen-ornamen dengan makna filosofi di dalamnya. Mari simak sejarah serta makna dari ornamen hiasan pada bangunan adat Suku Banjar berikut ini.
Sejarah Rumah Bubungan Tinggi
Indonesia memang kaya dengan budaya, setiap daerah memiliki ciri khasnya tersendiri, salah satunya dari segi arsitektur. Setiap daerah memiliki bangunan khas yang menjadi ciri dari tempat tersebut.
Di Kalimantan Selatan, bangunan khasnya adalah Bubungan Tinggi. Meskipun saat ini jarang sekali masyarakat Banjar memilih mendirikan bangunan khas tersebut, tapi pada zamannya Bubungan Tinggi merupakan tempat tinggal yang dianggap mewah oleh Suku Banjar.
Rumah bubungan tinggi banyak didirikan pada tahun 1600-an saat berdirinya Kerajaan Banjar di Kalimantan Selatan. Dibangun mulai sejak masa pemerintahan Pangeran Samudra atau Sultan Suriansyah Panembahan Batu Habang.
Bubungan Tinggi merupakan kediaman adat menjadi tempat tinggal Sultan atau Raja, kerabat, atau pihak-pihak yang berperan untuk kesultanan maupun para saudagar kaya.
Pada masa perjuangan merebut kemerdekaan, rumah adat ini dijadikan markas atau tempat latihan para pejuang kemerdekaan atau TKR. Saat ini, Bubungan Tinggi yang masih ada dijadikan sebagai lokasi wisata atau museum.
Keistimewaan bangunan yang sering disebut Rumah Banjar atau Rumah Ba’anjung ini adalah dari arsitekturnya. Kediaman adat ini dibangun khusus dengan bentuk bangunan utama berbentuk segi empat memanjang, kemudian dibangun dua bangunan di kedua sisinya.
Bagian atapnya yang membumbung tinggi dengan sudut kemiringan mencapai 45% membuat kediaman adat ini kemudian disebut Bubungan Tinggi. Pada abad ke-18 terjadi perubahan arsitektur dengan penambahan bangunan pada rangkaian kediaman adat.
Bangunan tambahan tersebut disebut Palimanan atau tempat penyimpanan harta kesultanan. Palimanan pertama kali dibangun di Keraton Martapura, untuk memenuhi kebutuhan ruang agar bisa menyimpan harta kerajaan.
Makna Filosofi pada Ornamen dalam Rumah Bubungan Tinggi
Bubungan Tinggi bukan hanya merupakan kediaman, tapi juga memiliki filosofis di dalamnya. Bagian-bagian yang memiliki makna filosofis adalah ornamen-ornamen di dalam rumah tersebut.
Sebagian besar ornamen yang dibuat dan dipasang bernada Islam. Sebab Bubungan Tinggi memang dibangun Suku Banjar yang berasal dari Suku Dayak setelah memeluk Islam. Beberapa ornamen bernilai islami tersebut adalah:
1. Dwitunggal Semesta
Rumah bubungan tinggi dibangun dengan menambahkan hiasan dwitunggal semesta yang menunjukkan keyakinan masyarakat bahwa rumah merupakan tempat sakral.
Dwitunggal semesta bisa berupa ukiran naga di badan rumah yang melambangkan alam bawah sadar. Atau ukiran burung enggang gading untuk melambangkan alam atas.
2. Pohon Hayat
Bagian atap membumbung tinggi melambangkan pohon hayat yang menjulang ke langan. Pohon hayat merupakan simbol kosmis, yaitu cerminan dari berbagai dimensi yang menyatukan semesta.
3. Payung
Rumah bubungan tinggi merupakan perpaduan budaya masyarakat lokal dengan budaya Islam. Oleh sebab itu, setiap ornamennya memiliki makna mendalam yang melambangkan kebudayaan Suku Dayak, Suku Banjar, dan pengaruh Islam.
Seperti ornamen payung di bagian atap Bubungan Tinggi. ornamen ini mewakili simbol kekuasaan dan melambangkan kebangsawanan. Hal ini sejalan dengan fungsi rumah adat yang digunakan oleh penguasa atau para bangsawan pada masanya.
4. Simetris
Pembangunan Rumah Ba’anjung dibuat simetris bukan tanpa sebab. Karena bentuk simetris ini melambangkan bahwa pemerintahan Kerajaan Banjar pada masa tersebut dijalankan secara seimbang.
5. Tata Ruang
Bukan hanya ornamen tapi penataan ruangan juga memiliki filosofi khusus, karena dibangun dengan penuh perhitungan. Salah satunya adalah ruangan serambi atau disebut surambi oleh masyarakat lokal.
Ruangan semi publik ini dibangun berjenjang dan biasanya digunakan oleh Sultan atau pejabat menyambut tamu. Ruangan berjenjang ini mencerminkan status sosial di Banjar pada masa tersebut.
Ruangan dibangun berjenjang, yaitu surambi muka, surambi sambutan, dan surambi pamandengan yang berhadapan langsung dengan pintu utama atau Lawang hadapan.
Orang-orang bisa memasuki atau berada dalam ruangan tersebut disesuaikan dengan status sosial atau hierarki tata karma yang kental.
6. Tawing Halat
Setiap Rumah bubungan tinggi dibangun dengan sekat untuk memisahkan ruangan di dalamnya. Ruangan pribadi dan umum akan dibatasi dengan tawing halat.
Tawing halat juga digunakan sebagai pemisah antara Sultan dengan para tamunya. Tawing halat dibuat agar Sultan bisa melihat jelas para tamu yang datang bertamu. Namun, dari sudut tamu tidak bisa melihat Sultan dengan jelas.
7. Denah Cacak Burung
Terakhir adalah denah cacak burung yaitu denah Rumah Ba’anjung yang sengaja didesain berbentuk lambang tambah (+). Bentuk bangunan dengan poros arah muka menuju belakang dan arah kanan menuju kiri dibangun dengan filosofi magis.
Suku Banjar zaman dulu menganggap bentuk tambah untuk bangunan adat memiliki kekuatan magis untuk menolak bala atau bencana.
Pada zamannya, Bubungan Tinggi merupakan kediaman para raja, bangsawan, pejabat, maupun saudagar kaya. Oleh sebab itu, dianggap sebagai tempat tinggal mewah oleh masyarakat Suku Banjar.
Setiap bagian dan ornamen di dalamnya memiliki makna filosofis yang dipengaruhi oleh kebudayaan Suku Dayak, Suku Banjar, serta ajaran Islam. Hal ini membuat rumah bubungan tinggi menjadi kekayaan budaya yang patut dilestarikan.